Selasa, 29 November 2011

Wujudkan Generasi Tasawuf yang Kuasai Iptek



Pesantren Darul ‘Ulum Jombang, ternyata bermula dari tanah petak yang suram. Desa Rejoso Kec. Peterongan tempat berdirinya pesantren ini – yang waktu itu masih berupa hutan – merupakan lembah hitam para penjahat. Para penduduknya kerap berbuat onar. “Pokoknya tingkah laku kesehariannya jauh dari praktek-praktek yang sesuai norma keislaman,” kisah Dra. Hj. Niswah Qonita As’ad.

 
Atas kenyataan itu, tak banyak orang berani melintasi Rejoso. Semuanya ciut nyali. Tapi tak demikian halnya dengan KH. Tamim Irsyad. Pemuda kelahiran Desa Pareng Bangkalan Madura itu, malah tertantang untuk memperbaikinya. Santri KH. Cholil Bangkalan yang sebelumnya sempat singgah di Desa Pajaran Jombang itu pun lebih memilih tinggal dan menjadikan Rejoso sebagai ladang dakwahnya.
Tahun 1885, KH. Tamim Irsyad memulai perjuangannya dengan mengajar mengaji. Dia dibantu menantunya, KH. Cholil – sosok alim yang pernah mengenyam pendidikan agama di bawah bimbingan KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang dan KH. Cholil Bangkalan.
Kyai Tamim yang mengajar al-Qur’an dan ilmu hukum syari’at, sementara Kyai Cholil membina mental spiritual santri dengan gemblengan ajaran tasawuf lewat amalan Thareqat Qodiriyah Wannaqsabandiyah. “Dua keilmuan itulah yang akan selalu melekat pada pengajaran di pesantren ini,” ujar Pengasuh Asrama Putri XI Muzamzamah-Chosi’ah ini.
Jejak langkah dakwah dua kyai tersebut seakan menemukan cahaya. Metode dakwah yang mereka kembangkan ternyata diminati banyak orang. Ada sekitar 200 santri yang ingin belajar. Mereka tak hanya datang dari Jombang, tapi juga Mojokerto, Surabaya, Madura bahkan Jawa Tengah. Karena banyak yang berasal dari luar kota, Kyai Tamim pun merasa harus segera mendirikan pondok para santri.
Tahun 1898, Kyai Tamim pun mulai mendirikan sebuah surau dan membangun sebuah tempat lagi pada tahun 1911. “Surau itu sendiri hingga sekarang masih terawat baik dan masih dipakai balai pertemuan dan pengajian,” terang anak keempat pasangan KH. M. As’ad Umar dan Nyai Hj. Azzah As’ad ini.
Pengajaran di pesantren ini pun semakin berkembang pesat seiring datangnya KH. Syafawi – adik KH. Cholil – yang mengajar bidang studi ilmu tafsir dan ilmu alat. Sayang, Kyai Syafawi tak berusia panjang. Pada tahun 1904, dirinya wafat. Dua puluh enam tahun berselang, Kyai Tamim menyusul. Maka, pesantren ini pun hanya menyisakan Kyai Cholil sebagai pengasuh tunggal.
Dalam kesendirianya, Kyai Cholil sempat mengalami jadzab. Untunglah, kondisi itu tak berjalan lama. Dia pun tak sendirian lagi mengasuh pesantren. Sebab tak lama kemudian, KH. Romly Tamim tampil seusai nyantri di Tebuireng dan berguru kepada KH. Akhmad Jufri Karangkates Kediri, serta KH. Zaid Buntet Cirebon. Putra ke dua Kyai Tamim Irsyad itulah yang kemudian meneruskan tugas dan tanggung jawab ayahnya dalam pengajaran ilmu syari’at.
Tahun 1937, Kyai Cholil wafat. Dia digantikan anaknya, KH. Dahlan Cholil yang sempat mengenyam pendidikan agama di Makkah seusai nyanti di Tebuireng. “Kyai Romly dan Kyai Dahlan lah yang kemudian memimpin perkembangan pondok pesantren pada periode pertengahan (1937-1958),” jelas perempuan kelahiran Jombang, 26 Februari 1969 itu.
Di tangan kedua tokoh muda inilah, lembaga pendidikan dakwah islamiyah ini mulai menunjukkan identitasnya. “Mereka memberikan nama untuk pesantren ini dengan sebutan Pondok Pesantren Darul ‘Ulum yang berarti rumah ilmu,” papar alumnus S1 Jurusan PAI Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini.
Pengkajian ilmu pengetahuan pada periode ini semakin pesat dan tidak hanya berkutat pada ilmu agama saja. “Wawasan keilmuan yang bersifat umum mulai diberikan,” tukas suami H. Ali Muhsin, M.Pd.I atau yang biasa dipanggil Gus Ali ini. Pembagian tugas antara tokoh-tokoh yang ada pun semakin jelas dengan dibentuknya struktur organisasi pondok.
Kyai Romli Tamim, urai ibu tiga anak ini, memegang kebijakan umum Pondok Pesantren serta ilmu thasawuf dan thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah. Sementara KH. Dahlan Cholil memangku kebijakan khusus siasah (manajemen) dan pengajian syariat plus al-Qur’an. Kyai Ma’soem Cholil – adik Kyai Cholil Dahlan – mengemban organisasi sekolah dan manajemennya. Sementara Kyai Umar Tamim – adik Kyai Romli Tamim – sebagai pembantu aktif di bidang kethareqatan. “Semua tugas tersebut masing-masing dibantu oleh santri-santri senior, seperti KH. Ustman Al Isyaqi yang berasal dari Surabaya dalam praktikum thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah,” jelas Dosen PAI Fak. Tarbiyah UNIPDU itu.
Pada tahun 1938, didirikanlah sekolah klasikal yang pertama di Darul ‘Ulum yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyyah Darul ‘Ulum. Sebagai tindak lanjut pendidikan MI tersebut, tahun 1949 didirikanlah Madrasah Mu’allimin (untuk putra). Sementara untuk putri, baru dibangun tahun 1954. “Siswanya waktu sudah mencapai tiga ribu orang,” ujarnya bangga.
Anggota jam’iyah Thareqat Qadiriyah Wannaqsabandiyah pun bertambah jumlahnya. Selain Jombang, jamaah yang tergabung berasal dari daerah-daerah kabupaten lainnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, bahkan ada Sulawesi Selatan. Hingga sekarang, kita masih bisa menyaksikan ritualnya di pusat latihan Rejoso jika jam’iyah ini mengadakan perayaan khusus bagi warganya. “Yang lazim adalah tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Sya’ban, bulan Muharrom dan bulan Rabi’ul akhir,” terang pembina pengajian muslimat NU Kec. Peterongan tersebut.
Duka pun menyelimuti keluarga pesantren Darul ‘Ulum, ketika tahun 1958 dua tokoh sentralnya meninggal. Kyai Dahlan wafat di bulan Sya’ban, disusul Kyai Romly pada bulan Ramadhan. Pesantren Darul ‘Ulum pun mengalami kesenjangan kepemimpinan, terutama dalam bidang thareqat dan ilmu al-Qur’an.
Beruntung, Darul ‘Ulum masih memiliki Kyai Ma’soem Cholil. Sayangnya, estafet kepemimpinan kepada Kyai muda ini pun tak berlangsung lama. Sebab tiga tahun berselang, dirinya wafat. Darul ‘Ulum kembali bangkit seiring tampilnya Kyai Bisri Cholil dan KH. Musta’in Romly sebagai pemimpin utama. Darul ‘Ulum pun banyak mengalami perubahan dalam bidang struktur organisasi, bidang bentuk pendidikan maupun dalam bidang sarana fisik.
Pada tahun 1965 didirikanlah Universitas Darul ‘Ulum sebagai kelanjutan wadah pendidikan. Universitas tersebut memiliki enam Fakultas: Alim Ulama (Ushuluddin), Hukum, Sosial-Politik, Pertanian, Ekonomi, serta Ilmu Pendidikan.
Ketika tampuk kepemimpinan dilimpahkan kepada KH. M. As’ad Umar, pesantren ini mengalami masa keemasan. Tugas kelembagaan semakin diperinci sesuai profesi perseorangan yang duduk di personalia lembaga. Maka, selanjutnya di pesantren ini ada tiga lembaga: Yayasan Darul ‘Ulum, Yayasan Universitas Darul ‘Ulum dan Yayasan thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah. “Masing-masing yayasan terikat oleh nilai dan norma misi kelembagaan Darul ‘Ulum yang termuat dalam garis besar Khiththah Trisula,” jelasnya.
Sekarang, pesantren ini telah memiliki 16 sekolah formal: MIN, MTsN, MTs Plus, MAN, MA Unggulan, SMP I, SMPN 3 Unggulan, SMA DU I Unggulan BPP-Teknologi, SMA DU II Unggulan BPP-Teknologi (RSNBI), SMA DU III, SMK I & II, SMK TELKOM, Sekolah Tahassus Al-Qur’an, UNIPDU dan UNDAR. Pesantren ini juga mengembangkan sekolah non formal. Diantaranya Pendidikan Kepramukaan, Pendidikan Leadership, Pengajian Weton (lima hari sekali), Pengajian Bandongan dan Sorogan, Pendidikan Qiro’at al-Qur’an dan Pendidikan Kader Organisasi.
Pesantren ini juga ditunjang dengan sarana prasarana yang memadai. Darul ‘Ulum memiliki 14 gedung sekolah formal dengan 108 lokal, dua gedung keterampilan, sembilan aula pertemuan, satu masjid dan sebelas mushala, serta dua kantor pusat dan tiga belas kantor unit. Pesantren ini juga dilengkapi 4 kantin makan, 6 sarana wartel, 1 pusat koperasi, 1 unit kantor Bank, 1 unit Usaha Kesehatan Pondok (UKP), 5 Lab. IPA, 8 Lab. Bahasa dan 1 Lab. Komputer.
Untuk menampung sedikitnya 7.000 santri, telah disediakan 34 gedung asrama dengan total 234 kamar. Bagi mereka yang gemar berolah raga, pesantren telah menyediakan 2 lapangan sepakbola, 8 lapangan bulu tangkis dan 8 lapangan basket, serta 13 lapangan tenis meja. Semua sarana itu semakin lengkap dengan hadirnya gedung Islamic Center dan Rumah Sakit UNIPDU. “Mudah-mudahan kami dapat segera merealisasikan pembangunan yang lebih berkualitas. Sebab, apa yang kami miliki ini masih dibangun di atas tanah seluas 6 Ha dari 40 Ha yang kami miliki,” ucapnya berharap.
Semua siswa yang bersekolah di Darul ‘Ulum wajib tinggal dan mengikuti pelajaran di asrama. Sama seperti pondok beraliran salaf lainnya, selain mengkaji kitab kuning, banyak aturan ketat yang harus dipatuhi para santri. Diantaranya, santri tidak boleh membawa HP dan dilarang merokok. Bagi santri yang berniat membawa Laptop pun harus dititipkan. “Setiap penggunaan fasilitas komputer dan internet, pasti ada yang pengawasnya. Kami telah menyediakan area khusus untuk semua itu,” ujarnya.
Dengan semua fasilitas tersebut, lulusan pesantren Darul ‘Ulum diharapkan tidak hanya fasih dalam ilmu agama, tapi juga menguasai IPTEK dan memiliki mental spiritualitas yang mumpuni. “Sekolah untuk kuasai IPTEK, Asrama guna mendalami ilmu agama, serta pengamalan thareqat Qadiriyah Wannaqsabandiyah buat membentengi dan menyucikan hati,” tandasnya.

Syekh Ahmad Rifa'i Rejoso

KH.RIFA’I ROMLI SH.

KH.Rifa’i Romli lahir di rejoso pada tanggal 22 april 1942, yang merupakan putra pertama dari KH.Romli Tamim dan Ibu Nyai Khodijah,putri Kyai Luqman dari Suwaru Mojoagung . pada masa kecilnya di didik dan dan di asuh langsung oleh KH.Romli Tamim, baru setelah menginjak dewasa, melanjutkan pendidikanya di madrasah ibtida’iyyah , mu’allimin (setingkat SLTP) di darul ‘ulum, kemudian nyantri di pondok lirboyo kediri . Setelah menempuh pendidikan di pesantren salaf tersebut beliau melanjutkan studinya di fakultas usuluddin Universitas Darul ‘Ulum ( UNDAR ) Jombang dan IAIN Sunan Ampel, beliau juga menimba ilmu di fakultas hukum UNDAR jombang, perjalanan hidup beliau di habiskan untuk pengabdian di pondok pesantren darul ‘ulum, sosok kepribadian yang murah senyum (ramah), alim, sabar dan bersahaja, memandang hidup apa adanya kesedarhanaan yang membuat masyarakat segan, akan kehidupan beliau.

Beliau mulai ikut berkiprah dalam kepemimpinan di darul ‘ulum mulai tahun 1972 M, sebagai kepala sekolah SMP DARUL ‘ULUM 1, kemudian secara berturut-turut menjadi ketua umum ikatan keluarga pondok pesantren darul ‘ulum “ IKAPDAR “ pada tahun 1976, Ketua Jam’iyyah Ahli Thariqoh Mu’tabaroh Idonesia “ JATMI “, menggantikan kedudukan almarhum Dr.KH.Musta’in Romli, Juga menjadi ketua thoriqat qodariyyah wan naqsabandiyyah.

Sering kali dalam mau’idzoh beliau, menggunakan bahasa yang elementer, kental dengan bahasa jawa sehingga mudah di terima oleh semua kalangan masyarakat sepuh (tua) di keluarga besar thoriqoh Qodiriyyah wan naqsabandiyyah maupun di kalangan santri. Dalam memompa para mustami’inya beliau sering menyampaikan :
“ DUK TALI LAYANGAN AWAK SITUK ILANG-ILANGAN ”
(duk tali layang-layang dalam berjuang,badan satu,perlu dikorbankan sampai titik darah penghabisan).

Sementara di luar darul ‘ulum beliau juga menjadi anggota DPRD Tingkat II jombang mulai tahun 1972 sampai tahun 1992 dan menjadi anggota DPRD Tingkat I mulai tahun 1992 sampai beliau wafat.
KH.Rifa’i Romli wafat pada tanggal 12 desember 1995 dengan meninggalkan istrinya Ny.Hj.Ummu aiman binti KH.Mahrus ali lirboyo kediri, dan putra-putrinya antara lain:

Nawang wulan jannatul firdaus, kholilatussa’idah, syarif hidayatulloh, rohmatul akbar, kennedy mu’ammar kadafi, nur laili kamali, yuliana hasinah, indira zulicha.
Semoga Alloh Swt, memberi ampunan kepada beliau, memberi balasan yang sebaik-baiknya terhadap segala pengabdian dan perjuangannya .amiin.

Demikian Biografi singkat sosok al-Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Pusat Peterongan Jombang Jawa timur.
Sebelumnya: Syekh Abdul Hamid Pasuruan
Selanjutnya : Syekh Muhammad Nafis al-Banjari

Habib Luthfi bin Ali bin Yahya



Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.

NASAB BELIAU :

Al Habib Muhammad Luthfi bin Sayid Ali al Ghalib bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar Bin Sayid Thaha sahibur ratib (yang menyusun ratib Kubro) bin Sayid Muhammad bin Sayid Thaha bin Sayid Hasan bin Sayid Syekh bin Sayid Ahmad bin Sayid Yahya bin Sayid Hasan bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Faqih Muqadam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Sahib Marbath bin Sayid Khala ‘Ali Qasam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid Muhammad bin Sayid Muhammad an Naqib bin Sayid ‘Isa an Naqib bin Sayid Ahmad al Muhajir bin Sayid Abdullah bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali al ‘Uraidhi bin Sayid Ja’far Shadiq bin Sayid Muhammad al Baqir bin Sayid ‘Ali Zainal Abidin bin Sayid Imam Husain as Sibthi bin Sayidatina Fathimah az Zahra binti Sayidina Muhammad Saw.

Masa Pendidikan

Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
• Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
• Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
• Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
• Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.

Perjalanan Ilmiah

Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu melanjutkan ke Mekah, Madinah dan dinegara lainnya. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.

Silsilah Thariqah dan Baiat:

Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
• Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.

• Syadziliyah :

Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.

Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:

• Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
• Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
• Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.
Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
• Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.

Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:

Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.

Thariqah Tijaniah:

• Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.

Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:

• Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami’ul Usul thariq al Aulia).
• Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
• Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
• Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
• Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
• Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
• Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
• Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
• Ketua Umum MUI Jawa Tengah.
• Anggota Syuriyah PBNU.dll.

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi



KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :

Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.

Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.

Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

Telah meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya
Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya


KH. M. Kholil Bangkalan

--------------------------------------------------
Syaikhona Kholil Gurunya Para Kiai
Judul: KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925
Penulis    : Muhammad Rifa’i
Editor: Meita Sandra
Penerbit: Garasi Yogyakarta
Cetakan: 2010
Tebal: 148 hlm.
Peresensi: Moh. Riwann Rifa’I, S. Pdi

_________________________________



KH Mustafa Bisri (Gus Mus) menyebutnya, kekeramatan atau karamah yang memancar pada diri Kiai Kholil Bangkalan bukan datang secara tiba-tiba, namun lahir dari proses penempaan diri yang sangat panjang. Semenjak remaja, beliau terbiasa menjalani pola hidup yang sederhana dan memprihatinkan, pahit manis, suka dan duka dalam perjalanan hidupnya ia pernah jalani. Maka tidak berlebihan jika banyak orang memuji Kiai Kholil. Zamakhsyari Dhofier dalam penelitiannya tentang jaringan intelektual Islam Indonesia, Syaikhona Kholil Bangkalan adalah termasuk salah satu tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Selain itu, Syaikhona Kholil termasuk salah satu gurunya para Kiai se  Jawa dan Madura bahkan seluruh Indonesia. Adapan diantara murid-muridnya yang pernah berguru adalah, KH. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisasi terbesar di Indonesia), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta), Kiai Bisri Mustofa (Rembang Jateng), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Abdul Majjid (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebun Agung, Sumenep), Kiai Usymuni (Pandian Sumenep), Kiai Muhammad Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Khozin (Buduran Sidoarjo). Bahkan Ir. Soekarno Presiden RI pertama, menurut penuturan Kiai Asa’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya (hal.51-53).

Dalam mendidik santri-santrinya, Kiai Kholil sangatlah luar biasa dalam mengemban sebuah amanah dan tanggung jawab sebagai seorang guru. Dari beberapa santri di atas, mayoritas semua menjadi tokoh publik dan bisa dipertanggung jawabkan intergritas keilmuannya sebagai seorang santri. Juga mayoritas santri Kiai Kholil menjadi orang  yang sukses, menjadi seorang Kiai, dan pengasuh pesantren. Dalam mendidik santrinya, Kiai Kholil yang terkenal menekankan sikap zuhud dan ikhlas dalam menuntut ilmu, beliau juga memiliki metode tersendiri dalam menggembleng para santrinya. Sebagai seorang pendidik, beliau tidak mau hanya mengajar biasa saja, yaitu membacakan kitab kuning, menyuruh santri mendengarkan dan menulis pelajaran, kemudian mempelajarinya, ataupun menghafalnya.

Pengabdian dan perjuangan Kiai Kholil sangatlah luar biasa, beliau salah satu Kiai yang ikut membantu membidani berdirinya Jam’iyah Nadlatul Ulama (NU). Walaupun Kiai Kholil tidak pernah masuk dalam struktural NU, tetapi semua tokoh NU mengetahui terhadap sumbangsih Kiai Kholil atas berdirinya organisasi terbesar di Indonesia (NU). Jadi posisi Kiai Kholil dalam sejarah proses berdirinya Nahdlatul Ulama adalah inspirator. Karena latar belakang sejarah berdirinya NU tidaklah mudah. Untuk mendirikannya, para ulama meminta izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Adapun permohonan pertama diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari yakni melalui salat istikharah. Namun petunjuk itu tidak langsung melalui Mbah Hasyim, melainkan melalui Kiai Kholil Bangkalan.

Buku biografi singkat Kiai Kholil Bangkalan ini, juga menjelaskan beberapa karamah-karamah yang beliau miliki. Di antara karamah yang beliau miliki, ke Makkah Naik Kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air). Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Kiai Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa, saking asyik dan enaknya berdiskusi, matahari hampir terbenam. Padahal Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin belum melaksanakan kewajiban shalat asar, sementara waktunya hampir habis. Kata Kiai Kholil, tidak mungkin kita melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Kiai Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil “kerocok”, untuk kita pakai perjalanan ke Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Kiai Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepatnya menuju ke arah Makkah. Sesampainya di Makkah, adzan shalat asar baru saja dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram (hal.105).

Dalam buku ini, juga dijelaskan tentang pemikiran kerakyatan Kiai Kholil. Sebagai seorang Kiai dan seorang pemimpin yang dihormati di daerah Bangkalan, Madura bahkan di Jawa, Kiai Kholil menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang memikirkan rakyatnya. Oleh karena itu, beliau tidak menjadi seorang pemimpin dan tidak menjadi seorang intelektual yang hanya berada dalam pesantrennya saja. Beliau terjun langsung untuk mengetahui seperti apa keberadaan rakyatnya dan sedang menghadapi kesulitan seperti apa masyarakatnya. Sosok Kiai Kholil inilah, justru mampu menampilkan sebagai pemimpin yang merakyat, dan mengayomi semua kalangan.

Sejarah biografi Syaikhona Kholil Bangkalan telah banyak orang yang menulisnya, seperti yang ditulis Oleh KH. A. Aziz Masyhuri (99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara), Muhammad Hasyim (Khazanah Khatulistiwa, Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara). Dan penulis buku ini, kebanyakan data-datanya mengambil dari buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Namun buku ini tetaplah menarik untuk dibaca oleh semua kalangan khususnya para santri pondok pesantren. Dengan harapan bisa mentauladani dan mengambil hikmah apa yang pernah dilakukan, diperjuangkan oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.  Wallahu  a’lam

Staf Pengajar Nasy’Atul Mutallimin Candi Dungkek Sumenep Madura

KH. Hamim Djazuli




KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat. 


Ayah Gus Miek KH. Achmad Djazuli Ustman

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin. 

Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti diskotik, club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan pintas.

Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!” hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.

Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akhirat kelak.

Ketika beliau berdakwah di Semarang tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat maksiat.

Satu contoh lagi ketika Gus Miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis“ jawab Gus Miek

Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.

Gus Miek bertemu KH. Mas’ud

Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.  

Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.





KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.

“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.

“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.

Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.

Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).

Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela, “Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan.

Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.

“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.

Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.

“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek.

Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan  dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.

Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.



Ketertundukan Binatang

Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.

Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.

Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.

Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Gus Miek Wafat

Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.

Video Kenangan Pengajian Gus Miek





Senin, 28 November 2011

Dream Is a Future Vision

100 MIMPI

1.   Menyelesaikan kuliyah di Akademi Tekhnik Telekomunikasi.
2.   Membuat bahagia orang tua dengan banyak prestasi.
3.   Menghafal dan mengerti makna yg terkandung  Al-Quran,Amin.
4.   menyelesaikan kuliyah diperguruan tinggi ternama di Indonesia.
5.   Menguasai banyak bahasa pemrograman.
6.   bekerja di Perusahaan besar Telekomunikasi di Indonesia.
7.   Uang keringat/Gaji pertama kali bekerja untuk Bidadari tercantik Ibuku.
8.   Berangkat ketanah suci (Baitullah)
9.   Menjadi wirausahaan yang sukses.
10. Mempunyai istri yang cantik, baik dan solehah.
11. Membangun keluarga yang sakinah.
12. Memiliki rumah sendiri dengan letak sedekat mungkin dengan Masjid.
13. Membiayai keluarga untuk dapat berangkat haji.
14. Memiliki laptop Asli buatan dari luar negeri.
15. Memiliki mobil.
16. Memiliki motor besar.
17. Memiliki HS berkelas dengan aplikasi terlengkap.
18. Memiliki perlengkapan pendakian sendiri.
19. Memiliki perlengkapan musisi lengkap rebana.
20. Memiliki perlengkapan musisi lengkap.
21. Mendirikan group gambus.
22. Mendirikan group rebana.
23. Memiliki Aula besar Olahraga.
24. Memiliki tanah diberbagai tempat.
25. Memiliki rumah diberbagai tempat.
26. Meraih prsetasi dicabang Beladiri.
27. Pelatih Bela diri dan membuat organisasai bela diri tersebut besar dan dikenal dimasyarakat.
28. Pelatih rebana.
29. Mendaki gunung-gunung yang ada Indonesia.
30. Mendaki gunung tertinggi di dunia.
31. Dapat berbahasa Arab, Inggris, Mandarin, Perancis.
32. Dekat dengan para alim ulama se-Indonesia.
33. Mendatangi/berziarah ke makam para ulama Islam Indonesia.
34. Mendatangi/berziarah ke makam para ulama Islam di dunia.
35. Memiliki perusahaan sendiri.
36. Membuka lowongan kerja sebanyak-banyaknya.
37. Mendirikan tempat pantiasuhan untuk anak-anak yatim.
38. Mendirikan sekolah diniyah untuk anak-anak tidak mampu.
39. Medirikan rumah tanfidz untuk anak yang tidak mampu.
40. Memiliki anak-anak yang hafal Al-Quran.
41. Menyekolahkan anak-anak ke pesantren.
42. Memiliki kamera dengan zoom yang tinggi.
43. Membuat WebSite kehidupan diri.
44. Melanjutkan sekolah keluar negeri.
45. Mendirikan Studio rekaman sendiri.
46. Mendirikan perpustakaan besar.
47. Mengunjungi segala kota yang ada di Indonesia.
48. Mendirikan distro besar pakaian.
49. Menjadi desainer.
50. Dapat memakai dan terjun langsung disirkuit dengan motor balap.
51. Menjadi musisi.
52. Menyelesaikan tingkatan sabuk tertinggi dalam beladiri dan menjadi Dewan Guru Besar.
53. .......................
Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/05/kursor-diikuti-jam-dan-tanggal-v2.html#ixzz1eUnkIGUV