Jumat, 18 November 2011

Sebuah penggalan Kisah Nyata Anak Adam akan kekuatan janji dan cintanya

Rizqaan segera mengajak Halimah ke sudut ruangan. Di situ, mereka memilih bangku yang berdampingan. Rizqaan duduk menghadap ke samping. Kearah Halimah. Kedua tanganya memegang ke dua tangan istrinya dengan penuh kemesraan.

“Ada apa Abuya?”

Sapaan ‘Abuya’ itu, membuat hati Rizqaan bagai diiris-iris. Beberapa saat ia hanya mampu terdiam. Nyaris ia ingin melompat, mendatangi mertuanya bahwa dia akan membatalkan perjanjian itu. Tapi sadar, bahwa itu perbuatan dosa. Itu khianat. Itu salah satu cirri kemunafikan. Seorang mukmin harus menjaga komitmen terhadap janjinya.

“Loh, kok diam Abuya? Ada apa sebenarnya? Kenapa kita harus berbicara berduaan disini?” Halimah bertanya dengan penasaran. Dadanya tiba-tiba berdebar-debar. Hatinya mencoba meraba-raba apa yang tengah terjadi. Kalau bukan karena urusan yang sangat penting, untuk apa Rizqaan mengajaknya berbicara empat mata. Padahal di ruangan perawatan, atau di depan kamar, mereka bisa berbicara.

“Adinda tersayang. Bersabarlah.”

“Kenapa Abuya? Dari kemarin aku sudah bilang, bahwa aku akan tetap bersabar menghadapi musibah ini. Segalanya belum berakhir. Kita bisa mengontrak rumah lagi. Kita masih memiliki sedikit uang di ATM. Kemarin Abuya bilang, ATM itu masih ada, tidak ikut terbakar.

Meski buku tabungan dan surat-surat penting kita lainya, ludes dimakan api. Kita bisa memulai dari awal lagi. “Halimah terus berbicara panjang lebar”. Rizqaan tidak segera menyelanya. Ia tak tega. Hatinya kini bergejolak pedih. Ada gelombang perasaan yang menyesakkan dadanya, sehingga ia tak mampu berkata-kata. Keluguan istrinya. Kepolosan sikapnya. Keteduhan jiwanya. Semua itu membuatanya makin merana saja. Tapi ia menguatkan dirinya. Ia tetap harus berbicara. Harus.

“Semuanya  sudah berakhir Adinda.” Ujar Rizqaan lirih.

“Maksud Abuya?”

“kamu ingat perjanjian aku dengan bapakmu di awal pernikahan dulu? Saat akad dilangsungkan?”

Kening Halimah berkerut.
Ia segera teringat perjanjian itu. Tiba-tiba saja pikiranya kalut. Hatinya berdegub kencang. Ada kekhawatiran hebat membayang di wajahnya. Wajah yang selama dua hari ini memang sedang memudar keceriaanya akibat bencana yang menimpa mereka berdua, kini terlihat semakin pucat. Semakin hilang bias keceriaanya. Ada bayangan pekat ketakutan dan kekhawatiran tergambar jelas disitu.

“Maksudnya…”

“Ya. Orangtuamu. Maksudku bapakmu, menuntut kita segera bercerai. Saat ini juga. Ia datang kesini hanya untuk tujuan itu.

“Gila. Apa-apaan ini…!” Halimah, berteriak histeris.

“Sabar, sabar dulu Halimah. Tenang, tenang…” Rizqaan berusaha menyabarkan Halimah. Ia menegok kebelakang. Ia melihat ibu mertuanya juga ikut menangis sepertinya ia sudah sadar apa yang terjadi.

“Kenapa? Kenapa Abuya? Kita khan bisa membatalkan perjanjian itu. Kita sedang terkena musibah. Ini tidak fair namanya.”Halimah berkata, dengan nada meluap-luap dengan intonasi suara yang cukup keras. Rizqaan segera mengingatkan, bahwa mereka sedang berada di rumah sakit. Di dekat UGD lagi. Tak baik berteriak-teriak seperti itu”

Sebagai pelampiasan, Halimah menangis. Dan Rizqaan sejenak menunda bicaranya. Ia memberikan kesempatan istrinya yang sebentar lagi akan berubah status manjadi janda itu, untuk melampiasakan segala kedukaan dan kesedihanya. Kedukaan yang bertumpuk-tumpuk. Kedukan yang menyerupai badai yang datang setelah ombak dan gelombang besar menghantam. Ia tahu, sebagai wanita Halimah memiliki perasaan yang halus. Lebih halus dari yang ia miliki sebagai laki-laki. Ia tahu bahwa perasaan kewanitaan istrinya saat ini teraduk-aduk. Kusut dan berkerujut.

Setelah sedikit mampu menguasai perasaanya, mesti tak mampu membendung kesedihan dan kepedihan hatinya, Halimah berkata lembut.

“Lalu apa yang akan Abuya lakukan?”

“Kita harus menepati janji itu Halimah. Sebagai orang beriman, kita harus memenuhi janji dan menepati perjanjian yang kita buat dengan kerelaan hati.”
“Tapi perjanjian itu dibuat dengan keterpaksaan Abuya. Kita tak pernah menyetujui dalam hati kita.”Sela Halimah.
“Tapi saat itu aku punya pilihan untuk menolak. Dan orangtuamu juga punya pilihan menolak lamaranku. Akhirnya aku mengambil jalan tengah dengan menikahimu, dan menyetujui syarat itu. Saat akad dilangsungkan, dan syarat itu diucapkan, aku dalam kondisi menyetujuinya secara suka rela. Kalau tidak pernikahan itu tentu batal.”

“Jadi Abuya setuju kita bercerai?”

“Aku tidak menyukainya Adinda. Kalau disuruh memilih antara mati dan bercerai, kalau memang pilihan itu dibenarkan syariat, aku akan memilih mati saja. Aku sudah teramat mencintaimu. Aku menyayangimu bukan sekedar karena engkau sebagai istriku. Tapi karena selama ini engkau telah menemaniku dalam susah dan senang. Menemaniku berjuang dalam hidup. Menemaniku dalam panduan ajaran syariat. Kita hidup bersama. Mengaji bersama. Belajar dan mendalami ilmu-ilmu islam bersama. Lalu mengasuh anak dan menjalani hidup sebagai suami istri bersama. Bagaimana mungkin aku rela dengan perceraian ini? Kalau hatimu pedih, maka jiwaku sekarang juga sedang merintih. Kalau engkau terpukul, maka sekarang pun aku sedang menahan sakit dalam jiwaku yang nyaris tak dapat aku tahan. Tapi kita harus patuh terhadap perjanjian itu. Karena Allah menyuruh kita demikian. Kepatuhan kita mungkin tak seberapa dibandingkan dengan kepatuhan Nabi Ibrahim, saat diperintahkan untuk menyembelih putranya yang tercinta, Ismail. Mereka berdua tentu bukan orang gila. Siapa orang tua yang tega menyembelih anaknya? Tapi itu perintah Allah. Mereka secara tulus menjalaninya.
Mereka berdua terdiam. Tapi wajah Halimah terlihat sudah mulai cerah. Meski bayang-bayang kesedihan masih belum terhapus.

“Abuya. Apa engkau benar-benar mencintaiku?” Tiba-tiba Halimah bertanya.

“Tentu. Aku mencintaimu karena Allah.” Jawab Rizqaan tegas.

“Aku juga amat mencintaimu, Abuya. Aku mencintaimu juga karena Allah. Apa yang Abuya ceritakan menyadarkanku akan penghambaan akan diri kita selama ini kepada Allah….”Halimah berkata lirih.
“Demi kecintaanku pada Allah. Dan demi ketaatanku kepada suami. Karena engkau, Abuya, hingga detik ini adalah suamiku. Maka aku akan menerima apapun yang terjadi. Apa pun yang Abuya lakukan terhadapku.” Suara Halimah bertambah semakin lirih. Ada nada kepedihan dalam nada suaranya.

“Apakah engkau akan bersabar, Adinda?”

Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar…”Ungkap Halimah, menyitir potongan ayat ucapan ismali terhadap ayahnya,Ibrahim.
Rizqaan tersenyum. Senyum kepuasaan, yang berbalut duka dan kepedihan. Ia puas, karena istrinya taat dan taat kepada Allah. Taat kepadanya. Ia sedih, hatinya bagai teriris sembilu karena ketaatan itu justru akan berakhir secara menyedihkan.

“Halimah istriku….” Ujar Rizqaan, dengan nafas tercekat.

“Ya. Abuya. Kakanda. Suamiku.”Balas Halimah, tak kalah pedihnya.

“Dihadapan Allah. Atas dasar ketaatan kita kepada-Nya. Dengan harapan Allah akan memperjumpakan kita di Surga kelak dalam sejuta keindahan yang melebihi segala yang pernah kita rasakan berdua. Atas dasar cinta kasih yang suci. Atas dasar kepedihan hati yang mendalam, yang hanya Allah yang mengetahuinya : SAYA MENALAQMU ADINDA.”
Meski tabah, tapi mau tidak mau tangisan Halimah meledak, tak terbendung lagi. Ia menangis terisak-isak. Ia tak pernah membayangkan, bahwa kesetiaanya kepada suami akan berujung kepada kepedihan seperti ini. Ya Allah, Ya Rabbi. Kami yakin, berkah sesungguhnya adalah pada cinta-Mu kepada kami. Kami merindukan cinta-Mu. Hati Rizqaan dan Halimah berbisik lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/05/kursor-diikuti-jam-dan-tanggal-v2.html#ixzz1eUnkIGUV